­

Yang Pahit dan Manis Pantai Ngetun

10.14


So far, kalau saya ke pantai manapun pasti menemui yang namanya parkiran yang dijaga oleh warga lokal dan ramai oleh pengunjung dari orang-orang kota yang kebanyakan cuman pengen sekedar memburu deru ombak untuk mengehela nafas karena lelah dengan kehidupan dikota. It is right?

Semua orang pasti suka pantai, suka beramai-ramai liburan ke pantai, berkemah dipantai atau cuma untuk foto-foto dan fotonya mejeng di profile facebook (gaya anak muda jaman sekarang banget!), pantai yang kita kunjungi tidak jauh-jauh dari yang telah lama orang banyak kunjungi pula, cerita dari teman, atau sercing di google karena penasaran. Karena semua itu terlalu mainstream, pantai-pantai yang sudah tertera di plang hijau itu berarti sudah lama diresmikan oleh pemerintah dan pasti bakal ramai kalau musim liburan. Parangtristis pantai yang sudah terlalu tua di kota Jogja atau bahasa kasarnya basi banget, karena udah banyak orang yang tahu, dan desek-desekan pengunjung kalau lagi musim study tour sekolah (males banget deh).

Lagi-lagi saya dan patner gila touring saya ini memutuskan untuk explorasi pantai yang belum terjamah oleh kaki-kaki orang banyak, namanya Pantai Ngetun, namanya kalau kepleset dikit jadi mirip pantai ‘ngentut’ haha. Menapa kami mencari pantai ini? Karena kami tidak suka yang mainstream, karena kami siap beresiko apapun apabila terjadi hal-hal tidak diduga-duga (ngeri banget). Pantai Ngetun ini letaknya di Kabupaten Gunung Kidul, gunung kidul aja udah’ mblusuk banget’ nah, pantai ini masih masuk, masuk dan masuk lagi.. dari kampungnya kampung, sampe bener-bener kampung yang cuman aja hutan, kicauan burung, angin yang semilir dan deru hujan yang membahana menerpa pepohonan.

Namun perjalanan kami yang kali ini mengerikan, pemirsa! Di awal, kami sebagai seorang traveler pastinya punya komitmen  harus tetap tangguh dalam kondisi dan medan apapun. Desember yang selalu di guyur hujan berkepanjangan, sampai kadang manusia itu selalu mengeluh dengan keadaan demikian, dingin, sakit, lelah, takut, bahkan berputus asa. Mungkin itu perasaan yang saya rasakan ketika hampir menuju pantai tersebut.  Namun patner saya selalu mengingatkan “ hujan itu vitamin” berfilosofi sedimikian agar langkah kita tetap kuat. Hujan yang mengguyur Jogja Kota sampai seluruh bagiannya, dari pagi hujan deras menghujami muka dan mantel yang kami pakai. Menjelang sore hari pun, matahari nampak selalu dikalahkan oleh awan yang mendung hitam.

 sejengkal lagi menuju bibir pantai

Sore hari yang masih berair, jalanan mulai becek saat kami memasuki  dusun Sureng Kabupaten gunung kidul, dan inilah yang kita tidak duga-duga, kami berangkat hanya membawa penglengkapan seadanya dan sangat seadanya bahkan sampai tak dipersiapkan sama-sekali, saya pribadi tidak membawa ganti dan masih memakai sepatu karena posisi saya pergi setelah pulang kuliah.

Tidak banyak yang kita ketahui tentang akses jalan menuju ke pantai Ngetun, jalannya yang super tidak enak dan membuat ban motor saya tergelincir berkali-kali. Motor besar kami mulai kami papah bersama, di dorong ke depan tanpa di naiki agar ‘we safe’, ada turunan tajam dengan batu batu tajam yang harus kita usahakan untuk motor tetap turun, itu mengerikan, hujan yang tambah deras sangat mengahambat perjuangan kami, tangan untuk menahan motor di depan rem, dan bagian belakang, kaki kami yang terus-terusan terpleset akibat air yang mengalir pada batu-batu tajam, bahkan sampai tumit saya sedikt berdarah karena tergores-gores dan tidak beralas kaki, kaki saya yang terkena ‘becek’ tanah membuat saya dan patner saya amat kesusahan.

 Jalanan yang bikin males motor lewat



motor terkapar jatuh karena ban terus-terusan terpeleset dan jatuh

Hari mulai gelap, hujan tidak sama sekali tidak berkempatan untuk berhenti sejenak, deburan ombak pantai di balik bukit  sana amat kencang dan membuat kami deg-deg an, angin angin dari pepohonan yang menambah suasana semakin dingin, baju saya yang basah kuyup, serta mantel yang mulai robek dibagian celana, kami mulai lapar, haus, dingin, disana tak ada orang lewat sama sekali, sepi, sangat sepi dan menakutkan. Samping kanan kiri kami jurang dan hutan, bagaimanapun malam ini kami harus berjalan menyelamatkan diri sebelum kami benar-benar tak kuat lagi. Kami memutuskan untuk berbalik arah untuk mencari pertolongan, setidaknya mencari rumah warga untuk berteduh. Motor yang tak sanggup kami bawa kembali, akhirnya kami tinggal di pinggir jalan.

Semuanya gelap, kami tidak membawa penerangan sama sekali, hujan lagi-lagi tak urung berhenti, malah semakin deras dan menyakitkan, kami berjalan sembari berharap tuhan memberi perlindungan untuk kami, malam itu saya benar-benar menangis, antara rasa nyeri, lapar, dan rasa takut. Kami menunaikan solat di jalan yang menggunakan cor- coran, disana kami berdoa sambil menangis memohon pertolongan tuhan. Over all, saya malam itu sepenuhnya pasrah. Bagaimanapun ini adalah tantangan yang diberikan tuhan. 


‘ Banyak orang nyaris berputus asa diwaktu ia sedang diuji, padahal ia tidak tahu sedikit lagi Allah akan memberikan pertolonganNya, apabila kita berhasil melewatinya nantinya kita akan naik level “


Wejangan dari patner saya membuat hati ini terenyuh dan membuang jauh-jauh pikiran untuk 
berputus asa, yak, kenapa kita tidak mencoba membangun langkah bersama dan selalu berfikiran positif bahwa Allah akan menolong kita?

Sampai akhirnya setelah 2 jam berjalan diterpa hujan dan kaki yang lecet-lecet,  kami menemukan rumah warga di perbatasan antara desa dan hutan, kami saling bersyukur dan langsung menuju rumah tersebut. Rumah itu memiliki warung kecil, kita bisa membeli makanan dan minuman seadanya sambil menahan kedinginan sembari menunggu sang empunya rumah dan mengutarakan maksud kami.

Kami disambut dengan hangat oleh pak Slamet, disana kami diperbolekan untuk menginap di ruang tamunya dengan menggunakan tikar dan diberinya sarung dan ‘jarit’ agar kami tidak kedinginan.  Saya tidur dengan menahan kedinginan, diluar saya hujan tidak pernah berhenti, saya menangis. Disitu saya mulai lemah karena tak sanggup menahan dingin. Malam melunta-lunta, kami menunggu pagi datang. Pukul 04.00 hujan mulai sedikit reda,baju  kami mulai kering. Pukul 07.00, namun pagi ini samasekali tak ada matahari, hanya sedikit cahaya yang menyembul keluar. 

 adegan bertemu dengan si Rino karna udah ditinggal lama ditengah2 hutan

Setelah berbincang-bincang lama dengan si embahnya, dan si ibu kami memutuskan untuk menjemput Rino, motor saya, sambil meneruskan untuk sekedar bertandang di pantai Ngetun itu. Perjalanan menjemput motor kami sangat renyah, kami beradu tawa dan saling mengejek.  Dan.. berpose sok imut !

Tibalah kami di pantai Ngetun.. Pantai yang kita cari-cari selama ini. Setelah berpelukan dengan si Rino, kami langsung berlari lari menuju bibir pantai.

Pantas saja tak banyak orang ingin berkunjung ke pantai Ngetun, jalan di pedesaan ini sangat meresahkan motor , apalagi sewaktu musim hujan, jalanan ini bisa merontokkan motor-motor yang melewatinya. Banyak orang mengakui kapok berkunjung kepantai ini. Namun bagi kami, sebuah perjalanan manis di awali dengan perjuangan yang pahit terlebih dahulu, dan kami samasekali tidak kapok. :)

Thanks to Pak Slamet yang selaku pak ketua RT di dusunnya serta keluarganya yang  telah banyak membantu kami . Kami punya tips apabila ingin berkunjung ke pantai ini, titipkanlah sepada motor dirumah Pak Slamet ini, dan tinggal berjalan ke bawah sekitar 1 jam untuk menuju pantai. Dan satu lagi, sinyal hape disini tidak ada samasekali kecuali jaringan dari Telkomsel (wah, emang bener tuh promosi Telkomsel di JJM ). Di dusun ini, jarang orang memiliki handphone, terang saja, mencari sinyal harus menggantung hape terlebih dahulu di depan pintu seperti ini.

 Ini rumah pak Slamet, Pak ketua RT dan hape dirumahnya yang tergantung diambang pintu :D


Pantai ini masih sangat perawan, kami sangat beruntung serasa pantai milik kita berdua :D haha
Berharap jangan banyak orang yang datang supaya tetap bersih dan asri seperti aslinya :p



You Might Also Like

0 komentar

terimakasih sudah mau berkunjung dan berbagi komentar :)