­

Memaknai tengah September diatas Gunung Purba

16.25

Senja hari, aku memaknainya sebagai sebuah simbol ketenagan hati yang abadi. Dari sinarnya yang menghentakkan nadi serta naluri terbangun kembali. Ketika aku hanya ingin diam, berbaring di batu besar, memandang bebas ke arah langit yang meng- oranye tajam.  Kali ini,aku benar-benar jatuh cinta kawan. Aku terbawa angin yang menampar diriku berulang-ulang.Tetapi diatas sana aku hanya bersimpuh malu pada tuhan,” Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit,bumi,dan gunung; tetapi semua enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya(berat),lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh,manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”(Al-Ahzab : 72)



Hari itu, serba unconditional, ketika aku mengayunkan kakiku kembali setelah malam hari akhirnya jogjakarta diguyur oleh hujan, aku menikmati. Bagimana aku hanya hidup untuk mengisi  bensin untuk menempuh apa yang ingin aku ketahui setelah ini.


Ahad siang, langit masih sedikit mendung, tapi nampak matahari yang terus memanggilku untuk menyaksikan pertunjukannya dan memaksaku untuk pergi lagi. Siang  itu, aku tak ingin pergi kemanapun, acara jurusan di kampus pun tidak. Aku hanya ingin pergi ke tempat yang telah lama aku rindukan. Tempat yang selalu mengisi batinku ketika aku lelah disakiti oleh mimpiku sendiri. Saat aku ingin membuang segalanya yang terlanjur hancur, meskipun ini adalah sebuah pelarian, namun inilah yang mengobatiku. Bersama dia, kembali menemui sang alam yang didalamnya ada kebebasan kembali bermimpi dan me-legowo kan hati.


Kadangkala, mendaki gunung itu seperti memperjuangkan cinta, seperti mencintai mimpi, mengokohkan langkah demi kehidupan yang lebih layak. Aku tak ingin berfikir apapun tentang lelah, lagi-lagi seperti memperjuangkan mimpi yang tak kenal lelah. Langkah kami bersimpuh kepada sang pemilik alam ini, aku dibuat kagum berulang kali, mata ini tak berhenti terpukau dan hati yang terbawa nostalgia, seperti kisah jurasic masa lampau. Batu-batu yang ukurannya raksasa ini mungkin umurnya sudah ribuan tahun lebih,pikirku.


 

Gunung Api Purba Nglanggeran, satu jam perjalanan cukup dari kota. Hanya dengan berbekal minum dua botol, seperti hobi kami berdua,mendaki gunung untuk target ke-rasa syukuran kami serta rasa kebebasan yang nyata. Dan benar saja, batu yang besar-besar kami tapaki dengan mudah. Sesekali kami berhenti mempersilahkan yang lain yang hendak turun. Lelah dan kehausan itu adalah hal yang biasa, sambil mengunyah butiran cha-cha chocolate, ini seperti petulangan Sherina! Hehehe. 

Ada lobang sempit yang harus kami lewati, rimba yang mencekam dibawah rima Al-ma’sturat yang kami setel dari handphone, Sebelum akhirnya inilah yang kumaksud dengan pernetralisir hati. Belajar dari alam,  dan selalu dari ciptaan-Nya yang terkadang kita lupa, atau sengaja melupakannya. Masih ada harapan ditengah kebodohan. Masih ada ruang untuk bertobat dan berdzikir seperti pohon yang menggoncang keras bertasbih memuji tuhan.



Puncak yang kami gapai dalam waktu kurang lebih satu jam itu bermberi makna berbagi antara kami. Menceritakan tentang kehidupan, masa lalu dan masa depan. Ketika kami sampai diatas dengan perlombaan,sambil mengatur nafas yang ‘menggeh-menggeh’ angin yang super kencang menyambut kami sangat tidak bersahabat. Badan ini rasanya seperti di rasuki oleh angin, bergetar, melambai mengikuti tiupan yang topan. Semuanya nyaris terpental. Wussh..

Dan inilah pertunjukannya, setelah angin yang menguji kekokohan kami agar tidak ‘terbang’. Inilah sang primadona pucak yang kami nantikan, langit yang mulai membuai pada episentrum warna,biru langit, kuning, merah, oranye. Warna yang super  fantastis dari tuhan.


 




Siapa yang tidak senang tidak senang akan senja?
Dari sinarnya yang mendatangkan emosi romansa kehidupan,menampakkan kejujuran dari relung hati yang menyimpan banyak alasan atas kebohongan, rasa cinta yang menjadikan power pada setiap perjalanan. Segalanya terbaca oleh mata-hati. 

Namun kali ini, seraya hatiku senang dan senyumku yang merekah tajam. Adakah yang percaya bahwa setelah kehidupan ini adalah sebuah kematian?. Seperti halnya matahari terbenam ini yang terbilang singkat,hanya butuh beberapa detik untuk meredupkan bumi. Setelah menerangi cukup lama,pada epilognya semua orang ingin merasakan keindahan hidup yang sama,ingin seindah  matahari yang terbenam.



Bermuhasabahlah, dari atas sini kau bisa merendahkan hati. Bahwa manusia memang tidak ada apa-apanya.  “ Sungguh tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,lalu ia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat,Dia ciptakan matahari,bulan,dan bintang-bintang tunduk kepada perintahnya.Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-nya. Mahasuci Allah, tuhan seluruh alam”(Al-A’raf: 54) 

 Karena hari itu juga, aku merasakan batinku yang tengah tersadarkan, kami turun tidak membawa alat penerangan, tapi cahaya bulan yang amat terang menyinari langkah kami. Dan kami turun dengan selamat dan rasa syukur yang tumpah. 




 Selamat menempuh hidup jalan-jalan semuanya :)

You Might Also Like

0 komentar

terimakasih sudah mau berkunjung dan berbagi komentar :)