Siang itu di atas 3.078mdpl.
16.57
‘Keberhasilan
bukanlah hasil pembakaran spontan. Kita harus membakar diri sendiri’
-Arnold
H. Glasow
Yang Kubutuhkan ternyata adalah SEMANGAT, bukan Kaki.
Hingga Pos Sangga Buana I dan Sangga Buana II terlewati
dengan sisa tenaga yang aku habis-habiskan. Masih harus melewati Pos Pengasinan
terlebih dahulu sebelum sampai ke Puncak. Matahari semakin terik membakar
kulit, debu yang di hasilkan Gunung Ciremai ini cukup produktif dan membuat
perubahan warna celana dan jaketku. Keringat yang bercucuran tak henti-hentinya
menetes dari wajahku, rasa haus yang berkepanjangan, rasanya seperti hidup di
gurun,botol yang kubawa sendiri hanya tinggal setetes dua tetes, perjalanan ini
benar-benar melelahkan. Untuk mencapai Pos Pengasinan, kita harus melewati
jalan batu yang besar- besar dengan debu yang hebat.
Ditengah perjalanan menuju Pengasinan,saya seperti sudah tak
sanggup lagi untuk berjalan,lagi-lagi hanya satu dua langkah kemudian berhenti
panjang, teman-temanku yang lainnya telihat begitu cepat dan aku tertinggal
jauh di belakang,lagi-lagi harus mengambil langkah yang besar untuk menapaki
bebatuan itu. Lalu aku memutuskan untuk ‘ndeprok’ di pinggiran bebatuan dibawah
pohon kecil, sembari memijat mijat kakiku yang ‘sudah tak bernyawa’, kemudian
aku tak sadarkan diri, tertidur pulas di bawah pohon,sesekali mendengar derap
kaki para pendaki yang berseliweran di depanku membawa debu ke depan wajahku,
aku tetap diam,tak ingin banyak berkomentar.
‘Deaa…’
Teriakan temanku dari atas sana itu sejenak membuatku terbangun dan
terhuyung pelan meneruskan berjalan. Yang terbayang saat itu hanya air es, aku
ingin air es..
‘Pengasinan masih jauh gak mas?’
‘nteu teh, badhe ka puncak ta neng?’(engga mba, mau ke
puncak mba?)
Saya hanya mengangguk lemas, Plang Pos Pengasinan seperti
nya sudah terlihat.
Pukul 13.00, dengan wajah yang sudah ‘tak berbentuk’ dan
terus terbatuk-batuk, saya menginjakkan kaki di Pos terakhir Gunung Ciremai,
kami yang terlambat untuk mengikuti ceremony, hanya bisa melihat bendera merah
putih yang telah terpasang. Belum rejekinya, yang penting pengalamannya. Pengasinan
ini dinamakan seperti ini konon dulu para wali yang pertama kali mendaki,ketika
sampai disini hanya memakan pakai garam yang asin, oleh karena itu dinamakan ‘Pengasinan’.
Persediaan minum yang kami bawa tinggal sedikit, hanya muat
untuk beberapa orang saja untuk sampai ke puncak, kami mencari jalan keluar, akhirnya
kami memutuskan untuk tidak ‘summit’ dikarenakan air yang menipis dan
kemungkinan kecil untuk diminum 8 orang dari kami,setelah puas berfoto, yang
lain sudah melesat turun, sedangkan aku dan Khodijah masih di Pos karena masih
ingin bersantai sebentar, di tengah ke narsisan kami berdua, tiba-tiba ada
seorang lelaki bertanya
‘ ntos summit teh?’(udah puncak mbak?)
‘belum mas, air kami habis, jadi ga bisa muncak’
‘mau muncak gak teh?’
Saya dan Khodijah saling berpandangan
‘Ya, mau banget. Tapi kita udah ga punya minum a’.
‘Hayuk, bareng saya aja, ini saya minumnya masih cukup kok,
join aja bareng kita’
Allahuakbar.
Kisah kami berdua
jadi berbeda,setelah mengiyakan ajakan lelaki tersebut dan tim nya, saya dan
Khodijah melenturkan kaki kembali untuk menggapai puncak tertinggi di Jawa
Barat itu.
Trek yang masih sama tapi lebih vertical dari yang di bawah,
dari atas sini kita bisa melihat wilayah Kuningan, Cirebon dan sekitarnya, di atas gumpalan awan yang disediakan pencipta
untuk melepas lelah, masih diperlukan waktu sekurang-kurang nya 1 jam untuk
summit.
Hamparan Edelweis yang subur menghalangi jalan kami, untuk
berjalan, kita harus sedikit menyibaknya, dari atas sini, aku sedih karena
banyak pohon yang telah tumbang dan mati, seperti dirusak oleh para pendaki.
‘Ayo, semangat,semangat ‘
Beberapa kali pendaki yang turun menyemangati kami untuk
menggapai puncak,
Ketika bendera merah putih di atas puncak berkibar cepat di
terpa angin, ada rasa tak percaya ,aku kembali bisa berdiri di atas sini.
Puncak ,3078 meter diatas permukaan laut.
Pukul 14.00 waktu jawa barat,
Puncak Gunung Ciremai memiliki cekungan kawah yang sangat
lebar, jadi harus berhati-hati ketika berada di sekitar kawahnya, jangan sampai
terperosok atau mem’perosok’an diri ke dalamnya.
Meskipun kali ini saya tak lagi mendapatkan sunrise dan
ceremony,saya telah memerdekakan jiwa saya untuk mememukan siapa saya dari rasa
pencapaian itu sendiri. Karena
sesungguhnya, ketika tuhan menetapkan tadkir, segalanya bisa terjadi.
17 Agustus 2013, sambil menahan nyeri, selesai menikmati
puncak kami pun langsung turun sebelum matahari terbenam lebih gelap,karena
teman-teman pasti sudah menunggu kami
berdua karena telang’hilang’ dari mereka.
Untuk sebelumnya, kami berdua meminta maaf memilih untuk
summit karena ada pertolongan tiba-tiba, mungkin ini akan sedikit membuat
mereka kesal. Namun, namanya perjalanan, ada susah, lelah, benci, dan cinta
yang harus dikompromikan.
Segalanya bercampur dalam bahasa jiwa, kita saling memiliki
alam,melawan lapar dan rasa dingin, sakit yang menghujam kaki dan badan,
menangis bahkan terjatuh berulang-kali. Sekali lagi, ini semua demi mimpi.
Di balik sebuah mimpi,
ada sebuah harapan,
ada sbuah kisah yg tersimpan,
berjuang untuk hidup,
berjuang untuk jiwa,
brjuang untuk sahabat sejati.
Dan.. aku ingin terus bermimpi..
Dan.. aku ingin mewujudkannya.
Bila harus ku berlari,
bila harus ku terjatuh,
bila nanti ku terluka,
ku tak akan meminta,
Disinilah ku berdiri,
di sini lah ku bertahan
Karena ku bisa..
Dan ku akan terbang..
0 komentar
terimakasih sudah mau berkunjung dan berbagi komentar :)