(3 pantai,satu cerita) Kuta-nya Jogjakarta,Pantai Ngobaran
10.58
Mereka yang setiap hari melihat
laut dan membagi hidupnya untuk mencari nafkah bahari pasti memiliki perasaan
yang berbeda dengan ku, aku yang sehari harinya hidup dengan gadget dan pena meskipun tak jarang aku tidak
ada dirumah dalam waktu lama untuk mencari kembali apa yang selama ini ku cari.
Meskipun terkesan biasa, namun kali ini aku hanya ingin ke tempat ini. Pantai
serupa, ombak serupa, warna laut serupa. Tapi entahlah, menurutku, sejatinya
hidup yang damai adalah mendengar dentuman ombak,merasakan tiupan angin yang
seolah hendak mengupas dagingmu,merontokkan tulangmu,meguliti hatimu,hingga
menemukan jiwamu yang telanjang. Bagiku, Lautan itu tak pernah berhenti
memberikan suatu jalan hidup dari sorotannya yang tak akan bertepi,seperti
itulah miniaturnya kehidupan,tolak ukur dari sebuah lautan.
Kali ini aku tak bisa menolak
undangan si ratu pantai selatan. Kalau cerita rakyatnya, mereka lebih sering
menyebut Nyai Roro Kidul, entah seperti apa bentuknya, ini terkesan mistis, dan
aku benci horror Indonesia.
Ketika aku masih kecil dulu, nenekku bilang’kalau ke pantai jangan pake baju
warna hijau,nanti bisa di bawa Nyai Roro Kidul’. Namanya anak kecil, mau
dibilang harus percaya apa boleh buat, tapi nyatanya toh koleksi bajuku jarang
yang berwarna hijau, dan aku lebih suka dengan warna pink yang berjiwa ksatria
sebagai wanita yang cantik dan pemberani.
Pertemanan kami umurnya baru
genap satu bulan semenjak pendakian Semeru . Mereka berbarengan beridentitas
sebagai pengelana dengan maksud dan tujuan yang sama. Dalam irisan kontemporer
yang tipis dari himpunan kami,ada banyak noktah penyambung antara kami bertiga.
Pertama,kami sama-sama berdarah Indonesia,
yang satunya terkesan sebagai leader pada line up jalan-jalan kita sejak awal,dua-dua
nya berdarah Jogjakarta
dan yang pastinya sebentar lagi aku akan mewarisinya. Kedua,kebetulan kami ini
pernah menjadi satu almamater saat junior high school,dan aku sebelumnya tak
pernah mengenali mereka. Ketiga,kami ini bertengkar,mencela,dan berargumen,tapi
tetap saja go on. They fantastic
friends.
Tidak banyak persiapan yang cukup
‘rempong’. Kami bertiga berjalan, atau lebih tepatnya bermotoran, dengan menggores
cahaya matahari siang hari yang menyengat di kota
jogjakarta.
Sudah aku katakan, kali ini pasti aku yang memperlambat waktu,tak heran kami di
jalan dengan se terik ini. Namun dengan kebijaksanaan,aku harus memenuhi
undangan sang Ratu dengan istimewa. Melewati daerah yang ber track tajam,
meliuk-meliuk membuat keseimbanganku rasanya menari-nari dan terbang,ini sudah
lebih tinggi dari daratan yang kami injak sebelumnya.
‘kita lewat jalur Imogori aja, terus ambil arah ke
Dlingo-Playen-Paliyan’
Aku cuman manggut-manggut. Manut.
Ternyata adalah Gunung Kidul,
tempat kelahiran si penulis terkenal,TASARO GK, yang antik nya, GK dari nama
penanya itu adalah Gunung Kidul, pasalnya beliau menemukan inspirasi dalam
berkarya karena suka nongkrong ke pantai alias jadi anak pantai. Ow,awesome.
Perjalanan sudah cukup jauh,kalau di hitung, sekitar 2 jam
tempuh. Ampuh motorku dengan fuel just
one litter,pikirku.
Ini dia, pantai Ngobaran. Temennya
pantai Ngrenehan yang banyak pelelangan ikan. Dari asal katanya Ngobaran, kayak
Kobaran=kebakaran,ah, itu terlalu ‘whatever think on’
Ngobaran merupakan pantai yang cukup eksotik. Kalau air surut, anda bisa
melihat hamparan alga (rumput laut) baik yang berwarna hijau maupun
coklat. Jika dilihat dari atas, hamparan alga yang tumbuh di sela-sela karang
tampak seperti sawah di wilayah padat penduduk. Puluhan jenis binatang laut
juga terdapat di sela-sela karang, mulai dari landak laut, bintang laut, hingga
golongan kerang-kerangan.
Tapi yang tak terdapat di pantai lain adalah pesona
budayanya, mulai dari bangunan hingga makanan penduduk setempat. Satu diantaranya
yang menarik adalah adanya tempat ibadah untuk empat agama atau kepercayaan
berdiri berdekatan. Apakah itu bentuk multikulturalisme? Who knows.
Apakah dari patung-patung ini ada yang mirip dengan ratu pantai selatan?
Ombaknya yang besar, cadas menghantam batu yang besar. Tidak
ada yang ku ketahui lagi selain berfoto bersama mereka menggunakan tripod setel
time. Dan pose gratis ala reporter jalan-jalan di depan handycam si Adam.
2 kali foto, ketagihan, 7 kali foto dengan gayanya
masing-masing. Check it out.
Rasanya seperti di Bali,
walapun aku tak pernah alias belum kesana, hanya melihatnya dari buku
traveling.
0 komentar
terimakasih sudah mau berkunjung dan berbagi komentar :)