storystreet : Dia dan Amplop putih

12.08




Hari raya umat islam di dunia, jatuh pada bulan syawal tepatnya setelah Ramadhan,ini hari kebahagiaan, semua orang pasti merasakan euphoria pertemuan yang telah lama didambakan,kembali bertemu dengan teman sekolah dulu, bertemu sanak saudara yang jauh,nenek yang jauh dan semuanya yang telah termakan oleh waktu.

“Ya ampun Dea, kamu dulu masih kecil banget, sekarang udah gadis ya”

Ucapan seperti itu hal yang lazim terlontar untukku, karena mungkin aku sudah mengalami banyak perubahan dari sikap, gaya , dan wajah.

Sambil menyalamiku dan mengecup pipiku,terkadang ada yang hingga meneteskan air matanya,tersedu sambil meminta maaf. Kemudian, selesai acara ‘sungkem’,diselipkan banyak candaan dan tawa dari maskot kocak di keluarga kami, semuanya hanyut dalam rasa hangat kekeluargaan. Jarang-jarang ada moment seperti ini. Semua bisa saling berbagi tentang diri mereka hanya satu tahun sekali,mengingat kesibukan dan jarak keberadaan kami semua.

Time to bagi-bagi. Entah bagaimana sejarahnya,’lebaran’ adalah timing yang pas untuk mengisi kekosongan dompet. Hampir semuanya memberiku amplop putih yang bertuliskan namaku di sudut kanan amplop. ‘Buat Dea’ begitu kira-kira. With my pleasure. Isinya bermacam-macam,ada yang lima puluh ribu an dua, ada yang sepuluh ribu,ada yang dua puluh. Semua itu wajib di syukuri. Hidup itu untuk menerima bukan?
Akhirnya aku pun pada hari itu bahagia mengoleksi aplop putih yang berisi banyak uang. Alhamdulillaah :D


Keluarga kami dan saudara yang berdatangan memulai ekspedisi silaturahmi outdoor, atau bahasa budhe saya’ Ayo kita mubeng-mubeng’ untuk bersilaturahmi ke rumah tetangga-tetangga dan orang lain di jalan.
Di tengah perjalanan, adikku ingin diantar pulang lantaran sedikit pusing dan ingin istirahat. Karena kalau menunggu mobil ayah pasti akan lama, aku memutuskan untuk pulang duluan dengan bis kecil untuk sampai ke rumah.

Ini bagian yang mengharukan menurutku, disamping aku yang memijat mijat kepala adikku, tiba-tiba ada seorang anak kecil berbaju lusuh dan kakinya pincang sebelah, berjalan di lorong bis dengan muka tidak bahagia sambil membagikan amplop putih yang ‘lecek’ kepada para penumpang dengan bertuliskan tulisan tangan anak kelas 2 SD



‘Mohon bantuannya bapak,ibu,ibu saya sakit,dan saya butuh uang untuk sekolah dan merawat ibu saya,terimakasih banyak’

Aku menatapi tulisan tangan yang ‘jumbo’ itu berulang kali, hingga saat itu saya terenyuh. Melihatnya dalam-dalam, ada senyuman yang anak kecil itu sembunyikan.

Aku memperhatikan tak banyak orang yang peduli,bahkan amplopnya diberinya kembali dalam keadaan kosong. Si anak kecil mengambilnya kembali dari penumpang, tapi entah, sejauh dia berjalan dengan satu kakinya itu di bulan nan fitri ini,semua orang yang diberkati kelebihan terkadang merasa lupa, ada yang masih belum bahagia seperti halnya yang lainnya.

Si anak kecil tadi masih berjalan dengan amplopnya menuruni tangga bus perlahan.
Kembali berjalan pindah dari satu bus ke bus yang lainnya dengan jalanan yang sangat ramai.
Aku membuka kembali tasku yang penuh dengan amplop yang baunya khas uang baru, Nanar, seperti ada hal yang menusukku dari dalam. Mengapa aku memiliki amplop yang sama dengannya dengan bentuk amplop yang sama, namun rasanya kebahagiannya belum sama dengan kebahagianku. Bukankah  seharusnya dia tidak disini dan tidak harus bekerja keras untuk melewatkan kebahagiaannnya sendiri?

Tuhan, jika saja aku bisa membagikan kebahagiaannya lewat amplop yang kudapat dengan kebahagiaan. Apakah perjalanannya akan bisa berubah? Agar kisahnya bukan lagi kisah yang menyedihkan di bulan penuh anugrah ini.

Tiinn… Tinn.. Tiinn..

Tiba-tiba bus yang saya tumpangi berhenti mendadak, ada kerumunan massa ramai di sudut jalan, jalanan yang ramai, tambah padat merayap,polisi berdatangan konvoi,dan ada kejanggalan pastinya disana.

‘Pak, ada apa ya? Kok ramai-ramai’ Tanyaku kepada seorang bapak yang duduk di dekat kaca bus dan sibuk melihat keluar demi mencari tahu yang terjadi.

‘Kae lho, ana sing ketabrak,kayake bocah cilik sing mau lho*’ logat medok ngapak bapak yang di belakangku menimpali.

‘Anak yang mana ya pak?’ Tanyaku penasaran

‘Kae lho sing mau pincang,ngamen neng kene kayake lho’

Inanillahi.
But, who knows kebenarannya iya atau bukan. Bisa jadi bukan. Dan semoga saja bukan.

Aku selalu berdoa untukmu si kecil pembawa amplop putih

You Might Also Like

0 komentar

terimakasih sudah mau berkunjung dan berbagi komentar :)